VOLKPOP.CO - Profesor Sulfikar Amir dari Nanyang Technology University (NTU) mengaku tersinggung dengan naskah akademik Ibu Kota Negara (IKN) yang baru saja dibuat oleh pemerintah.
Sebelumnya, pada tahun 2019 Sulfikar Amir telah mendapatkan draft naskah akademik mengenai IKN. Tapi, ia masih belum tertarik karena naskah itu masih dalam bentuk draft.
Baca Juga: Shin Tae Yong Panggil 27 Pemain untuk Laga FIFA Match Day di Bali
Lantas, berjalan tiga tahun kemudian, yakni 2022, Sulfikar Amir kembali mendapatkan naskah IKN yang telah selesai. Namun, ketika Sulfikar membaca dan membuka lembaran naskah itu, Ia tersinggung dengan tulisan akademik tersebut.
"Ketika membaca naskah akademik itu saya menjadi sangat tersinggung. Sebuah karya yang diklaim sebagai naskah akademik, tetapi kualitasnya seperti selevel dengan anak S1 tingkat satu atau dua," kata Sulfikar Amir dikutip dari YouTube Refly Harun.
Baca Juga: Evolusi Panjang Aremania Pasca Dualisme Singo Edan
Dilansir dari Pikiran Rakyat, naskah tersebut seharusnya ditulis lebih serius, kata Sulfikar, dengan berbagai pertimbangan akan menggelontorkan uang yang banyak untuk merealisasikan kebijakan mengenai IKN.
"Mestinya naskah yang berbiaya besar yaitu sekira Rp400-500 triliun, yang membutuhkan sumber daya yang luar biasa, seharusnya ditulis secara lebih serius. Harapan saya naskah tersebut seperti disertasi S3 yang memiliki kajian dengan literatur yang kaya, metodologi yang valid, regresi, dan ada alasan yang masuk akal dengan pertimbangan rasional," ujar Sulfikar.
Namun, Sulfikar dikecewakan saat menerima naskah akademik IKN yang jauh berbeda dari harapannya.
Baca Juga: Kapolda Jateng Copot Kasat Reskrim Boyolali Akibat Dugaan Pelecehan Seksual
"Kalau kita lihat di naskah akademik itu, isinya ke mana-mana. Misalnya, di kajian literatur disebutkan bahwa ini adalah proses dan ide perkotaan yang ada di dunia klasik hingga modern seperti smart city, tetapi tidak ada kajian-kajian kritis mengenai setiap proses dan bagian atau model mana yang cocok untuk Indonesia," ucap Sulfikar.
Dikatakan lebih lanjut oleh Sulfikar, penjelasan tersebut tidak ada dalam naskah akademik IKN dan langsung loncat ke landasan sosioligis.
"Ini membuat saya menjadi gundah gulana karena menggunakan kata sosiologis. Sebagai seorang sosiolog, saya tentu sangat tersinggung ketika istilah sosiologis dipakai hanya untuk menjustifikasi alasan yang sangat simpel dan dangkal," tuturnya.*** (Christina Kasih Nugrahaeni/Pikiran Rakyat)
Artikel Terkait
Kematian Ayah Tak Dianggap Pemerintah