- Sepanjang tahun 2021, selama pandemi covid-19 merajalela, ada 5 kasus kekerasan pada jurnalis yang terjadi di Sumatera Utara. Selain itu, ada 9 kasus kekerasan pada jurnalis berupa teror dan intimidasi. Serta ada 12 kasus kekerasan pada jurnalis yang dilakukan oleh aparat kepolisian
VOLKPOP.CO - Membahas soal keselamatan pada jurnalis, tak semata-mata berkaitan dengan pandemi covid-19. Melainkan, jurnalis masih menjadi elemen yang paling rentan mendapat represi yang mengancam keselamatan.
Sepanjang tahun 2021, catatan yang diakumulasi AJI Indonesia sejak 01 Januari 2021 hingga 25 Desember 2021, sebanyak 5 kasus kekerasan pada jurnalis terjadi di Sumatera Utara. Kekerasan terbanyak bila dibandingkan provinsi lain.
Sedangkan, 4 kasus kekerasan pada jurnalis terjadi di DKI Jakarta, ada 3 kasus di Jawa Timur, serta 1 kasus di Jawa Barat dan Papua Barat, diikuti 2 kasus di Papua. Tampak merata di hampir semua provinsi-provinsi besar.
Di sisi lain, AJI Indonesia mencatat ada 43 jenis kekerasan yang dilakukan kepada jurnalis. Seperti teror dan intimidasi yang tercatat ada 9 kasus, kekerasan fisik 7 kasus, ancaman 7 kasus, serangan digital 5 kasus.
Pelaku kekerasan pada jurnalis terbanyak dilakukan oleh aparat kepolisian, mencapai 12 kasus. Sedangkan 10 kasus dilakukan oleh orang tak dikenal, 8 kasus dilakukan pejabat pemerintah, dan 1 kasus dilakukan oleh TNI, korporasi, ormas, dan jaksa.
“AJI ini juga melakukan pendataan serangan pada teman-teman jurnalis, termasuk serangan di isu-isu digital dan sisi hukum,” kata Sasmito kepada Volkpop Media melalui Zoom Cloud Meeting.
“Artinya, kalau kita bicara soal Keselamatan Kerja, yang di depan mata ialah serangan pada jurnalis. Masih marak walau di tengah pandemi covid-19, cukup sistemik,” imbuhnya.
Ia menjelaskan kasus di Papua yang memiliki kesamaan pola. Yakni mobil dirusak dan dihancurkan oleh orang tak dikenal, tragedi nahas itu dialami dua jurnalis anggota AJI Jayapura yang bernama Lucky Ireeuw dan Victor Mambor.
“Ada temen jurnalis juga rumahnya diserang oleh orang tak dikenal, artinya kalau kita bicara serangan pada jurnalis, masih begitu masif,” tegasnya.
Untuk mengantisipasi hal itu, Sasmito membuat pelatihan internal untuk anggota AJI dan jurnalis secara umum. Yakni, memberi perhatian pada 4 aspek keselamatan dan kesehatan kerja jurnalis, meliputi aspek fisik, aspek digital, aspek hukum, dan aspek psikologi.
“Maka dari itu, [jurnalis] kerap jadi korban doxing, hpnya diretas, website diretas dan diubah, dialami oleh jurnalis dan perusahaan cyber, perlu pelatihan dan keamanan dari sisi digital,” katanya.
“Selain itu, [jurnalis] juga rentan terhadap kesehatan mental yang terganggu, apalagi di masa pandemi covid-19,” tuturnya kepada Volkpop Media, pagi itu.
Saat ini, Sasmito mengupayakan untuk aktif mendorong Dewan Pers dalam mengevaluasi berbagai regulasi yang memastikan keselamatan jurnalis mulai dari MoU Kapolri dan Dewan Pers yang bakal berakhir pada Februari 2022.
“Saya pikir kalau UU perlu disegarkan kembali karena banyak teman-teman jurnalis patokannya hanya UU No 40 tahun 1999, padahal UU K3 sebetulnya juga punya peran dalam keselamatan dan kesehatan kerja jurnalis,” katanya.
Artikel Terkait
Kematian Ayah Tak Dianggap Pemerintah