VOLKPOP.CO – Dewasa di negara Tiongkok menjadi sorotan politik dikarenakan isu kemanusiaan, terorisme, ekstremisme, dan separatism yang terjadi pada salah satu etnis minoritas, yakni Uyghur di provinsi Xinjiang. Di salah satu provinsi di provinsi Tiongkok pada bagian barat laut. Dikarenakan pada mulanya Xinjiang ini merupakan salah satu yang terletak di pedalaman benua Eurasia yang berbatasan dengan Rusia, Kazakhstan, Kirgizstan, Tajikistan, Afghanistan, Pakistan, Mongolia, Tibet, dan juga India. Letak yang strategis ini Xinjiang menjadi wilayah objek para pedagang di Tiongkok.
Selama beberapa ratus tahun wilayah tersebut strategis ini yang disebut sebagai jalur sutra oleh Tiongkok dengan seiring berjalannya waktu menjadi wilayah kedaulatan dinasti Qing sampai menjadi wilayah otonom Republik Rakyar Tiongkok yang diintegrasikan sejak tahun 1955. Pada proses integrasi yang dilakukan dengan adanya peaceful liberation dengan bentuk pemerintah Tiongkok yang memberikan hak untuk menentukan nasib sendiri.
“Uyghur sebuah etnis yang minoritasnya di Tiongkok dari keturunan peradaban Turki dengan mayoritas agama Islam, dan dikenal juga sebagai etnis dengan populasi terbanyak yang tinggal di wilayah provinsi Xinjiang sebelum adanya migrasi dari wilayah tersebut. Dari tahun diintegrasikannya di wilayah Xinjiang ke dalam wilayah Tiongkok samoai saat ini masalah struktural yang belum mencapai solusi dengan adanya uoaya separatis dengan etnis Uyghur dengan adanya benturan kebudayaan sehingga menghasilakan kesukarannya dengan beradaptasi dengan bangsa Han yang berimigrasi ke temoat tersebut untuk mengekploitasi wilayah tersebut.” Terang Wardhani (2011).
Baca Juga: Heboh! Presiden Amerika Serikat dan Presiden Republik Rakyat Tiongkok Ketemuan
Dikarenakan, sebelumnya diperparah dengan adanya dugaan pelanggaran HAM terhadap kelompok etnis di wilayah Xinjiang ini dengan mengundang kecaman dari berbagai kalangan di dunia dengan ketika media mulai menyuarakan hasil wawancara dengan pengakuan para eks-tahanan di Kamp tersebut dan apa terjadi di salah satu media massa yang bernama British Broadcasting Corporation (BBC). “Eks-tahanan kamp bahwa telah terjadi penyiksaan secara fisik maupun psikologis.” Terang Bristow dari BBC News.
Pada dasarnya, keberadaan kedua berita tersebut dapat membuat kebingungan di antara masyarakat international dengan normativenya Tiongkok sebagai negara berdaulat mempunyai otonom dengan wilayahnya sendiri juga berhak menyuarakan tentang apa yang telah terjadi di wilayah nya dengan melalui media resmi dari pemerintahannya. Namun dengan adanya isu HAM Uyghur ini pada masyarakat internasional justru penuh dengan beberapa media massa global seperti saat media CNN, New York Times, dan BBC yang cepat tanggap dengan memberitakan isu yang mulai menimbulkan skeptisisme masyarakat internasional dengan masyarakat Tiongkok.
isu HAM Uyghur secara serupa, tetapi tak sama oleh media massa global yang diketekahui dengan didominasikan oleh media massa di bagian barat menjadi menarik. Dikarenakan, masyarakat informasi kini mulai kritis dengan memilih berita yang dibaca.
Pemberitaaan BBC sebagai media massa global mengenai isu HAM etnis Uyghur di Xinjiang ini menyebabkan adanya perubahan citra Tiongkok dalam masyarakat di panggung internasional. Intensitas pemberitaan mengenai isu ini dan pelansiran berita yang dilakukan oleh mayoritas negara dengan populasi terbanyak di dunia yang dijabarkan berdasarkan The Global Audience Measure (2018). Pemberitaan mengenai Uyghur yang berdampak pada citra internasional Tiongkok dengan adanya opini publik yang terbentuk media massa yang bernama BBC selalu memberikan penekanan dalam pemberitaan Uyghur yang terlihat condong ke arah pelanggaran HAM serta pembelaan terhadap diskriminasi agama Islam sebagai agama mayoritas etnis Uyghur. lebih jelas nya hal tersebut fokus kepada kata-kata tertentu seperti “kamp”, “muslim”, “china’s muslim”, dan “Uighur’s Muslim”.
Sumber: Repository Unair
Reporter: Jilan Athaya Vita
Artikel Terkait
Peran 'Media Massa' sebagai Media Sosialisasi pada Masyarakat
Heboh! Presiden Amerika Serikat dan Presiden Republik Rakyat Tiongkok Ketemuan